KATA
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah Ekologi Hewan yaitu
tentang “Relung Ekologi” ini
dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.
Ucapan terimakasih kepada Dosen pengampu mata kuliah
Ekologi Hewan yang telah memberikan kami kesempatan untuk membuat makalah ini
sebagai pedoman, acuan, dan sumber belajar.
Akhir kata, Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan baik
dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang kurang tepat dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan materi
kami.
Denpasar 2014
Daud Ngongo Nani
Penyusun
DAFATAR ISI
KATAPENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Batasan
Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Habitat
B. Mikrohabitat
C. Relung Ekologi
D. Asas aksklusi persaingan dan pemisahan relung
E. Ekuivalen Ekologi
F. Pergeseran Ciri
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di alam yang di lingkungan sekitar kita dapat di temui
berbagai jenis makhluk hidup,baik dari golongan hewan,tumbuhan ataupun
mikroorganisme.Ditanah yang lembab dan gembur sering di temukan berbagai jenis
ikan,di rerumputan sering di temukan belalang,di semsk belukar sering ditemukan
ular.Mengapa masing-masing hewan tersebut.
Lebih sering di temukan di tempat-tempat yang tertentu
dan tidak sembarang tempat? Masalah kehadiran suatu populasi hewan di suatu
tempat dan penyebaran(distribusi) spesies hewan tersebut di muka bumi
ini,selalu berkaitan dengan masalah habitat dan relung ekologinya.Habitat
secara umum menunjuk kan bagaimana corak lingkungan yang ditempati populasi
hewan,sedang relung ekologinya menunjukkan dimana dan bagaimana kedudukan
populasi hewan itu relatif terhadap faktor-faktor abiotik dan biotic
lingkungannya itu.Secara sederhana habitat di artikan sebagai tempat hidup dari
makhluk hidup,atau diistilahkan juga dengan biotop.Untuk mudahnya,habitat
seringkali diibaratkan sebagai”alamat”
dari populasi hewan,sedang relung ekologi dimisalkan sebagai “profesi” di
alamat itu.
B. Batasan Masalah
1. Pengertian Habitat
2. Mikrohabitat
3. Relung Ekologi
4. Asas Eksklusi Persaingan Dan Pemisahan
Relung
5. Ekivalen Ekologi
6. Pergeseran Ciri
BAB II
PEMBAHASAN
A. Habitat
Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak
lingkungan yang di tempati populasi itu,termasuk factor-faktor abiotik berupa ruang,tipe substratum yang di
tempati,cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.
Definisi habitat : Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu
hidup, atau tempat kemana seseorang harus pergi untuk menemukan organisme
tersebut. Istilah habitat banyak digunakan , tidak saja dalam ekologi tetapi
dimana saja. Tetapi pada umumnya istilah ini diartikan sebagai tempat hidup
suatu makhluk hidup. Contohnya habitat Notonecta
(sejenis binatang air) adalah daerah-daerah kolam, danau dan perairan yang
dangkal yang penuh ditumbuhi vegetasi. Habitat ikan mas (Cyprinus carpio) adalah di perairan
tawar, habitat pohon durian (Durio
zibhetinus) adalah di tanah darat dataran rendah. Pohon enau tumbuh di
tanah darat dataran rendah sampai pegunungan, dan habitat eceng gondok di
perairan terbuka.
Menurut Sambas Wirakusumah dalam Dasar-Dasar Ekologi,
habitat adalah toleransi dalam orbit dimana suatu spesies hidup termasuk faktor
lingkungan yang cocok dengan syarat hidupnya. Orbit adalah ruang kehidupan
spesies lingkungan geografi yang luas, sedangkan habitat menyatakan ruang
kehidupan lingkungan lokasinya.
Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi yang
ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat
merupakan organism-specific: ini menghubungkan kehadiran species, populasi,
atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan
karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau
struktur vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species.
Dimanapun suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk
bertahan hidup, itulah yang disebut dengan habitat.
Tipe Habitat: Habitat tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat
merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang
hanya berkenaan dengan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi
vegetasi yang mencapai suatu tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah
kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa
digunakan ketika mendiskusikan hubungan antara satwa liar dan habitatnya.
Ketika kita ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan oleh satwa liar, kita
dapat mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya.
Penggunaan Habitat: Penggunaan habitat merupakan cara satwa menggunakan (atau
”mengkonsumsi” dalam suatu pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan
biologi (sumber daya) dalam suatu habitat. Hutto (1985:458) menyatakan bahwa
penggunaan habitat merupakan sebuah proses yang secara hierarkhi melibatkan
suatu rangkaian perilaku alami dan belajar suatu satwa dalam membuat keputusan
habitat seperti apa yang akan digunakan dalam skala lingkungan yang berbeda.
Kesukaan Habitat: Johnson (1980) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses
satwa memilih komponen habitat yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan
konsekuensi proses yang menghasilkan adanya penggunaan yang tidak proporsional
terhadap beberapa sumberdaya, yang mana beberapa sumberdaya digunakan melebihi
yang lain.
Ketersediaan Habitat: Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen
fisik dan biologi yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan
sumberdaya yang hanya menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme
yang ada dalam habitat tersebut (Wiens 1984:402).
Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis
sumberdaya yang tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir
tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut pandang satwa
(Litvaitis et al., 1994). Kita dapat menghitung kelimpahan species prey untuk
suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua prey
yang ada di dalam habitat dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan,
seperti ketersediaan cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas predator
untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di
luar jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi
itu merupakan kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber
daya aktual merupakan hal yang penting untuk memahami hubungan antara satwa
liar dan habitatnya, dalam praktek jarang dilakukan karena sulitnya dalam
menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang tidak tersedia (Wiens
1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan sumberdaya
biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan sumberdaya sebelum dan sesudah
digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan aktual. Ketika
aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan terhadap suatu satwa, analisis untuk
menaksir kesukaan habitat dengan membandingkan penggunan dan ketersediaan
merupakan hal yang penting.
Kualitas Habitat: Istilah kualitas habitat menunjukkan kemampuan lingkungan
untuk memberikan kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi secara terus
menerus. Kualitas merupakan sebuah variabel kontinyu yang berkisar dari rendah,
menengah, hingga tinggi. Kualitas habitat berdasarkan kemampuan untuk
memberikan sumberdaya untuk bertahan hidup, reproduksi, dan kelangsungan hidup
populasi secara terus menerus. Para peneliti umumnya menyamakan kualitas
habitat yang tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang memiliki kontribusi
terhadap kehadiran (atau ketidak hadiran) suatu spesies (seperti dalam Habitat
Suitability Index Models dalam Laymon dan Barrett 1986 dan Morrison et al.
1991). Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan dengan ciri-ciri demografi
jika diperlukan. Leopold (1933) dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu
habitat diaktakan memiliki kualitas yang tinggi apabila kepadatan satwa
seimbang dengan sumberdaya yang tersedia, di lapangan pada umumnya habitat yang
memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan satwa (Laymon dan
Barrett 1986). Van Horne (1983) mengatakan bahwa kepadatan merupakan indikator
yang keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu daya dukung dapat disamakan
dengan level kualitas habitat tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak
pada jumlah organisme tetapi pada demografi populasi secara individual.
Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi para ahli restorasi.
Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama ,
yakni:daratan,perairan tawar,perairan payau dan estuaria serta perairan
bahari/laut..Masing-masing kategori utama dapat
dipilih-pilihkan lagi tergantung corak kepentingannya,mengenai aspek
yang ingin di ketahui.Dari sudut pandang dan kepentingan popuasi-populasi hewan
yang menempatinya,pemilihan tipe-tipe habitat itu terutama didasarkan pada segi
variasinya menurut waktu dan ruang.
Berdasarkan variasi habitat
menurut ruang,dapat dikenal4 macam habitat.
1.
Habitat yang konstan,yaitu suatu habitat yang kondisinya terus-menerus relatip
baik atau kurang baik.
2. Habitat yang bersifat memusim,yaitu suatu
habitat yang kondisinya secara relative teratur berganti-ganti antara baik dan kurang
baik.
3. Habitat yang tidak menentu,yaitu suatu
habitat yang mengalami suatu priode dengan kondisi baik yang lamanya berfariasi
,sehingga kondisinya tidak dapat diramalkan.
4. Habitat yang efemeral,yaitu suatu habitat
yang mengalami priode kondisi baik yang
berlangsung relative singkat,diikuti oleh suatu priode dengan kondisi yang
kurang baik yang berlangsung relative lama sekali.
Berdasarkan variasi kondisi habitatmenurut
ruang,habitat dapat diklasifikasi menjadi tiga macam.
1.
Habitat yang bersinambung,yaitu apabila suatu habitat bengandung area dengan kondisi baik yang luas
sekali,yang melebihi luas area yang dapat di jelajahi populasi hewan pengaruhinya .Sehingga contoh
yang luas sebagai habitat dari populasi rusa yang berjumlah 10 ekor.
2. Habitat yang berputus-putus,merupakan
suatu habitat yang mengandung area dengan kondisi baik letaknya
berselang-seling dengan area yang berkondisi kurang baik,hewan penghuninya
dengan mudah dapat menyebardari area berkondisi baik yang satu ke yang lainnya.
3. Habitat yang terisolasi, merupakan suatu
habitat yang mengandung area terkondisi baik yang terbatas luasnya dan letaknya
terpisah jauh dariarea berkondisi baik yang lain, sehingga hewan-hewan tidak
dapat menyebar untuk mencapainya, kecuali bila didukung oleh faktor-faktor
kebetulan. Misal suatu pulau kecil yang di huni oleh populasi rusa. Jika
makanan habis rusa tersebut tidak dapat berpindah ke pulau lain. Pulau kecil
tersebut merupakan bukan habitat terisolasi bagi suatu populasi burung yang
dapat dengan mudah pindah ke pulau lainnya, tetapi lebih cocok disebut habitat yang
terputus.
B. Mikrohabitat
Habitat-habitat di alam ini umumnya bersifat heterogen,
dengan area-area tertentu dalam habitat itu yang berbeda vegetasinya.
Populasi-populasi hewan yang mendiami habitat itu akan terkonsentrasi
ditempat-tempat dengan kondisi yang paling cocok bagi pemenuhan persyaratan
hidupnya masing-masing. Bagian dari habitat yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab
berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat. Sehubungan dengan bagaimana
kisaran-kisaran toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungannya, maka
berbagaispesies hewan yang berkonsentrasi dalam habitat yang sama (=
berkohabitasi) akan menempati mikrohabitatnya masing-masing.
Makrohabitat dan mikrohabitat : Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat
penggunaannya tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan
terhadap satwa menjadi pertanyaan. (Johnson, 1980). Dengan demikian
makrohabitat dan mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang
berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat merujuk pada ciri
khas dengan skala yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan,
1993) yang biasanya disamakan dengan level pertama seleksi habitat menurut
Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan kondisi habitat yang sesuai, yang
merupakan faktor penting pada level 2-4 dalam hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu
merupakan hal yang tepat untuk menggunakan istilah mikrohabitat dan
makrohabitat dalam sebuah pandangan relatif, dan pada skala penerapan yang
ditetapkan secara eksplisit.
Contoh makrohabitat dan mikrohabitat : Organisme
penghancur (pembusuk) daun hanya hidup pada lingkungan sel-sel daun lapisan
atas fotosintesis, sedangkan spesies organisme penghancur lainnya hidup pada
sel-sel daun bawah pada lembar daun yang sama hingga mereka hidup bebas tidak
saling mengganggu. Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di atas disebut
mikrohabitat sedangkan keseluruhan daun dalam lingkungan makro disebut
makrohabitat.
Habitat dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan
makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik
minimum dan batas atas disebut titik maksimum. Antara dua kisaran itu terdapat
titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, titik maksimum dan titik
optimum disebut titik cardinal.
Apabila sifat habitat berubah sampai diluar titik minimum atau maksimum,
makhluk hidup itu akan mati atau harus pindah ke tempat lain. Misalnya jika
terjadi arus terus-menerus di pantai habitat bakau, dapat dipastikan bakau
tersebut tidak akan bertahan hidup . Apabila perubahannya lambat, misalnya
terjadi selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri
dengan kondisi baru di luar batas semula.Melalui proses adaptasi itu sebenarnya
telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain yang disebut varietas
baru atau ras baru bahkan dapat terbentuk jenis baru.
Batas antara mikrohabitat yang satu dengan yang lainnya
acapkali tidak nyata/jelas. Namun demikian mikrohabitat memegang peranan
penting dalam menentukan keanekaragaman
spesies yang menempati habitat itu. Tiap spesies akan berkonsentrasi pada
mikrohabitat yang paling sesuai baginya. Sebagai contoh, dalam suatu habitat
perairan tawar yang mengalir (sungai) secara umum dapat dibedakan menjadi bagian
riam dan lubuk. Riam berarus deras dan dasarnya berbatu-batu sedang lubuk
hampir tidak berarus, relatif dalam dan dasarnya berupa lumpur dan serasah. Ada
beberapa populasi hewan air yang lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat di
riam dan ada beberapa populasi yang lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat
di lubuk. Pemilihan atas dasar mikrohabitat utama ini dapat dipilah-pilah lagi
lebih lanjut, seperti bagian permukaan batu, di sel-sela batu, di bawah lapisan
serasah dan sebagainya. Pemilihan atas dasar mikrohabitat-mikrohabitat yang
berbeda itu terkait dengan masalah perbedaan status fungsional atau relung
ekologi dari berbagai spesies hewan yang manempati habitat perairan
tersebut.
C. Relung Ekologi (Ecological Niche)
Berbeda dengan istilah habitat yang sekarang sudah
digunakan secara luas, istilah relung ekologi di luar bidang ekologi praktis
tak kenel. Salah satu pennyebabnya ialah karena konsep relung ekologi relatif
baru, bahkan dalam 30 tahun pertama selak istilah tersebut diperkenalkan
pengertiannya masih kabur. Sampai saat ini dikalangan guru-guru biologi sekolah
menengah juga masih kabur.
Secara umum dapat dikatakan bahwa relung ekologi
merupakan suatu konsep abstrak mengenai keseluruhan persyaratan hidup dan
interaksi organisme dalam habitatnya. Dalam hal ini habitat merupakan penyedia
berbagai koondisi dan sumberdaya yang dapat digunakan oleh organisme sesuai
dengan persyaratan hidupnya.
Konsep relung (niche) dikembangkan oleh Charles Elton
(1927) ilmuwan Inggris, dengan pengertian relung adalah “status fungsional
suatu organisme dalam komunitas tertentu”. Dalam penelaahan suatu organisme,
kita harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai sumber nutrisi dan energi,
kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme lain bila
berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh organisme yang kita
selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam ekosistem.
Relung menurut Resosoedarmo (1992) adalah profesi (status
suatu organisme) dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan
akibat adaptasi struktural, fungsional serta perilaku spesifik organisme itu.
Berdasarkan uraian diatas relung ekologi merupakan istilah lebih inklusif yang
meliputi tidak saja ruang secara fisik yang didiami oleh suatu makhluk, tetapi
juga peranan fungsional dalam komunitas serta kedudukan makhluk itu di dalam
kondisi lingkungan yang berbeda (Odum, 1993). Relung ekologi merupakan gabungan
khusus antara faktor fisik (mikrohabitat) dan kaitan biotik (peranan) yang diperlukan
oleh suatu jenis untuk aktivitas hidup dan eksistensi yang berkesinambungan
dalam komunitas (Soetjipto, 1992).
Niche (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang diduduki
organisme , peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik)
serta posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain
dari keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat dikatakan sebagai
relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau
hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya
tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana
dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah
lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala
baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental
niche) dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok
didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan
populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai
sekelompok kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme
tertentu secara bersamaan.
Sebagaimana definisi-definisi pada umumnya, definisi
relung ekologi (niche) pun juga
bermacam-macam. Menurut Kandeigh (1980), relung
ekologi adalah suatu populasi / spesies hewan adalah status fungsional
hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan adaptasi-adaptasi
fisiologis, struktural/morfologi, dan pola perilaku hewan itu. Atau relung
ekologi merupakan posisi atau status suatu organisme dalam suatu komunitas dan
ekosistem tertentu yang merupakan akibat adaptasi struktural, tanggap
fisiologis serta perilaku spesifik organisme itu. Jadi relung suatu organisme
bukan hanya ditentukan oleh tempat organisme itu hidup, tetapi juga oleh
berbagai fungsi yang dimilikinya. Dapat dikatakan, bahwa secara biologis,
relung adalah profesi atau cara hidup organisme dalam lingkungan hidupnya.
Hutchinson (1957) dalam Begon,et al (1986) telah mengembangkan
konsep relung ekologi multidimensi
(dimensi-n atau hipervolume). Setiap kisaran toleransi hewan terhadap suatu
faktor lingkungan, misalnya suhu merupakan suatu dimensi. Dalam kehidupannya
hewan dipengaruhi oleh bukan hanya satu faktor lingkungan saja, melainkan
bannyak faktor lingkungan secara simultan. Faktor ligkungan yang mempengaruhi
atau membatasi kehidupan organisme bukan hanya kondisi lingkungan seperti suhu,
cahaya, kelembapan, salinitas tetapi juga ketersediaan sumberdaya yang
dibutuhkan hewan (makanan dan tempat untuk membuat sarang bagi hewan).
Selanjutnya Hutchinson membagi konsep relung menjadi relung
fundamental dan relung yang terealisasi. Relung fundamental menunjukkan potensi secara utuh kisaran toleransi hewan terhadap
berbagai faktor lingkungan, yang hanya dapat diamati dalam laboratorium dengan
kondisi lingkungan gterkendali. Misalnya yang diamati hanya satu atau dua
faktor saja, tanpa ada pesaing, predator dan lain sebagainya. Relung
terealisasi adalah status fungsional yang benar-benar ditempati dalam kondisi
alami, dengan beroperasinya banyak ffaktor lingkungan seperti interaksi faktor,
kehadiran pesaing, predator dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan kisaran
relung fundamental, kisaran dari relung yang terealisasikan itu pada umumnya
lebih sempit, karena tidak seluruhnya dari potensi hewan dapat diwujudkan,
tentunya karena pengaruh dari beroprasinya berbagai kendala dari lingkungan.
Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan
kondisi-kondisi yang menyebabkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi
tidak menentukan bentuk, kekuatan atau arah interaksi. Dua faktor utama yang
menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap
individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara
populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis.
Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi
kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis harusnya ada tumpang tindih dalam
niche. Pada kasus simbion, satu atau semua partisipan mengubah lingkungan
dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari kisaran-kisaran kritis
partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai
kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme,
sedikitnya selama waktu interaksi.
Menurut Odum (1993) tidak ada dua spesies yang
adaptasinya identik sama antara satu dengan yang lainnya, dan spesies yang
memperlihatkan adaptasi yang lebih baik dan lebih agresif akan memenangkan
persaingan. Spesies yang menang dalam persaingan akan dapat memanfaatkan sumber
dayanya secara optimal sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dengan baik.
Spesies yang kalah dalam persaingan bila tidak berhasil mendapatkan tempat lain
yang menyediakan sumber daya yang diperlukannya dapat mengalami kepunahan lokal
Populasi beraneka jenis hewan yang berkoeksistensi dalam
habitat yang sama mempunyai keserupaan pula dalam kisaran toleransinya terhadap
beberapa faktor lingkungan dalam mikrohabitat. Berdasarkan konsep relung
ekologi menurut Hutchinson keserupaan menunjukkan adanya keselingkupan dalam
satu atau beberapa dimensi relung (Kramadibrata, 1996).
Berjenis makhluk hidup dapat hidup bersama dalam satu
habitat . Akan tetapi apabila dua jenis makhluk hidup mempunyai relung yang
sama, akan terjadi persaingan. Makin besar tumpang tindih relung kedua jenis
makhluk hidup, makin intensif persaingannya. Dalam keadaan itu masing-masing
jenis akan mempertinggi efisiensi cara hidup atau profesinya.Masing-masing azkan
menjadi lebih spesialis, yaitu relungnya menyempit. Jadi efek persaingan antar
jenis adalah menyempitnya relung jenis makhluk hidup yang bersaing, sehingga
terjadi spesialisasi.
Akan tetapi bila populasi semakin meningkat, maka
persaingan antar individu di dalam jenis tersebut akan terjadi pula. Dalam
persaingan ini individu yang lemah akan terdesak ke bagian niche yang marginal.
Sebagai efeknya ialah melebarnya relung, dan jenis tersebut akan menjadi lebih
generalis. Ini berarti jenis tersebut semakin lemah atau kuat. Makin spesialis
suatu jenis semakin rentan makhluk tersebut.
Makin spesialistis suatu jenis, makin rentan populasinya
misalnya wereng yang monofag dan hidup dari tanaman padi, populasinya kecil
setelah masa panen dan memesar lagi setelah sawah ditanami dengan padi.
Populasi yang kecil setelah panen menanggung resiko kepunahan. Sebaliknya jenis
makhluk yang generalis, populasinya tidak banyak berfluktuasi, ia dapat
berpindah dari jenis makanan yang satu ke jenis makanan yang lain. Pada manusia
kita dapatkan hal yang serupa. Bangsa yang makanan pokoknya hanya beras,
hidupnya amat rentan , apabila produksi beras menurun misalnya karena iklim
yang buruk, kehidupannya mengalami kegoncangan.
Pengetahuan tentang relung suatu organisme sangat perlu
sebagai landasan untuk memahami berfungsinya suatu komunitas dan ekosistem
dalam habitat utama. Untuk dapat membedakan relung suatu organisme, maka perlu
diketahui tentang kepadatan populasi, metabolisme secara kolektif, pengaruh
faktor abiotik terhadap organisme, pengaruh organisme yang satu terhadap yang
lainnya.
Banyak, organisme, khususnya hewan yang mempunyai
tahap-tahap perkembangan hidup yang nyata, secara beruntun menduduki relung
yang berbeda. Umpamanya jentik-jentik nyamuk hidup dalam habitat perairan
dangkal, sedangkan yang sudah dewasa menempati habitat dan relung yang
samasekali berbeda Relung atau niche burung adalah pemakan buah atau biji,
pemakan ulat atau semut, pemakan ikan atau kodok.
Niche ada yang bersifat umum dan spesifik. Misalnya ayam
termasuk mempunyai niche yang umum karena dapat memakan cacing, padi, daging,
ikan, rumput dan lainnya. Ayam merupakan polifag,
yang berarti makan banyak jenis. Makan beberapa jenis disebut oligofag, hanya makan satu jenis
disebut monofag seperti wereng,
hanya makan padi.
Apabila terdapat dua hewan atau lebih mempunyai niche yang sama dalam satu
habitat yang sama maka akan terjadi persaingan. Dalam persaingan yang ketat,
masing-masing jenis mempertinggi efisiensi cara hidup, dan masing-masing akan
menjadi lebih spesialis yaitu relungnya menyempit.
Hutchinson (dalam Odum,1993) membedakan antara relung
dasar (Fundamental Niche)
dengan relung nyata (Realized Niche).
Relung dasar didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang
memungkinkan populasi masih dapat hidup, tanpa kehadiran pesaing, relung nyata
didefinisikan sebagai kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh
organisme-organisme tertentu secara bersamaan sehingga terjadi kompetisi.
Keterbatasan suatu organisme pada suatu relung tergantung pada adaptasinya
terhadap kondisi lingkungan tersebut.
Relung dasar (Fundamental
Niche) tidak dapat dengan mudah ditentukan karena dalam suatu komunitas
persaingan merupakan proses yang dinamis dan kondisi fisik lingkungan yang
beragam mempengaruhi kehidupan suatu organisme. Mc Arthur (1968) dalam
Soetjipta (1992) menyarankan penelitian tentang perbedaan antara relung ekologi
dibatasi dalam satu atau dua dimensi saja seperti hanya diamati perbedaan
relung makan saja atau perbedaan relung aktivitas saja.
Jenis-jenis popilasi yang berkerabat dekat akan memiliki
kepentingan serupa pada dimensi-dimensi relung sehingga mempunyai relung yang
saling tumpang tindih. Jika relung suatu jenis bertumpang tindih sepenuhnya
dengan jenis lain maka salah satu jenis akan tersingkir sesuai dengan prinsip
penyingkiran kompetitif.Jika relung-relu ng itu bertumpang tindih maka salah
satu jenis sepenuhnya menduduki relung dasarnya sendiri dan menyingkirkan jenis
kedua dari bagian relung dasar tersebut dan membiarkannya menduduki relung
nyata yang lebih kecil , atau kedua jenis itu mempunyai relung nyata yang
terbatas dan masing-masing memanfaatkan kisaran yang lebih kecil dari dimensi
relung yang dapat mereka peroleh seandainya tidak ada jenis lain.
D. Asas Eksklusi Persaingan Dan Pemisahan Relung
Dengan adanya interaksi persaingan antara dua spesies
atau lebih yang memiliki relung ekologi yang sangat mirip maka mungkin saja
spesies-spesies tersebut tidak berkonsistensi dalam habitat yang sama secara
terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa suatu relung ekologi tidak dapat
ditempati secara simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu
spesies. Pernyataan ini dikenal sebagai ” Asas
Eksklusi Persaingan” atau ” Aturan
Gause”.
Sehubungan dengan asas tersebut di atas, menurut ” asas
koeksistensi’, beberapa spesies yang dapat hidup secara langgeng dalam habitat
yang sama ialah spesies-spesies yang relung ekologinya berbeda-beda. Tentang
pentingnya perbedaan-perbedaan diantara berbagai spesies telah lama dikemukakan
oleh Darwin (1859). Darwin menyatakan ahwa makin besar perbedaan-perbedaan yang
diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup di suatu tempat, makin besar
pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu tempat itu. Pernyataan Darwin
tersebut dikenal sebagai ” Asas Divergensi”.
Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa aspek relung
ekologi yang menyangkut dimensi sumberdaya, khususnya yang vital untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan, dari beberapa spesies harus berbeda
(terpisah) agar dapat berkoeksistensi dalam habitat yang sama. Perbedaan atau
pemisahan relung itu juga mencakup aspek waktu aktif.
Contoh dari kasusu pemisahan relung antara berbagai spesies
yang berkohabitasi dapat dilihat dari contoh berikut ini. Serumpun padi dapat
menjadi sumberdaya berbagai jenis spesies hewan. Orong-orong (Gryllotalpa africana) memekan akarnya,
walang sangit (Leptocorisa acuta)
memakan buahnya, ulat tentara kelabu (Spodoptera
maurita) yang memakan daunnya, ulat penggerek batang (Chilo
supressalis) yang menyerang batangnya, hama ganjur (Pachydiplosis oryzae) menyerang pucuknya, wereng coklat (Nilaparvata lugens) dan wereng hijau (Nephotettix apicalis) yang menghisap
cairan batangnya. Tiap jenis hama tersebut masing-masing telah teradaptasi
khusus untuk memanfaatkan tanaman padi sebagai sumberdaya makanan pada
bagian-bagian yang berbeda-beda.
E. Ekivalen Ekologi
Jika memperhatikan tentang kehidupan berbagai jenis hewan
di berbagai tempat sering ditemukan spesies-spesies hewan serupa yang hidup di
daerah geografi yang berbeda. Kita dapat menemukan cacing tanah di mana saja,
misal di Indonesia, di Amerika, di Eropa, di Australia dan tempat lainnya.
Cacing-cacing tanah tersebut secara morfologi serupa, namun sebenarnya mereka
berbeda spesies. Cacing
tanah di jawa (Pheretima javanica)
serupa dengan cacing tanah di Amerika (Lumbricus
terestris). Kedua jenis cacing
tanah tersebut menempati habitat tanah lembab dengan relung ekologi yang
serupa. Jenis-jenis hewan yang menempati relung ekologi yang sama (ekivalen)
dalam habitat yang serupa di daerah zoogeografi yang berbeda disebut Ekivalen
Ekologi.
Secara umum ekivalen-ekivalen ekologi itu dikenali dari
kemiripan kemiripan yang diperlihatkan hewan-hewan tersebut dalam hal adaptasi
morfologisserta pola perilakunya. Sebabnya ialah karena berbagai adaptasi itu
adalah tiada lain daripada perangkat ”modal” kemampuan hewan untuk memanfaatkan
sumberdaya-sumberdaya di dalam lingkungannya atau habitatnya.
F. Pergeseran Ciri
Spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat, satu marga
atau genus misalnya, dapat ditemukan pada habitat atau daerah penyebaran yang
sama (simpatrik) atau ditemukan pada daerah penyebaran yang berbeda
(alopitrik). Jika Spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat (kogenerik)
ditemukan dalam keadaan simpatrik, seleksi alam akan menghasilkan ciri-ciri
tubuh yang semakin mencolok perbedaannya diantara Spesies-spesies itu atau
dikatakan mengalami evolusi divergen.
Sebaliknya, apabila dalam keadaan alopitrik seleksi alam akan menghasilkan
evolusi konvergen sehingga perbedaan ciri-ciri itu makin kabur. Fenomena
tersebut di atas di kenal sebagai
Pergeseran Ciri.
Evolusi yang menghasilkan pergeseran ciri pada
Spesies-spesies hewan dalam keadaan simpatrik mempunyai dua kepentingan adaptif
bagi spesies-spesies yang bersangkutan. Pertama, karena ciri (adaptasi
morfologis,misalnya) yang nyata bedanya akan menyebabkan terjadinya pemisahan
relung ekologi. Dengan demikian maka kemungkinan terjadinya interaksi berupa
persaingan, apabial spesies itu berkohabitasi, akan tereduksi. Kedua,
berbedanya ciri morfologi yang menghasilkan berbedanya pola perilaku misalnya
perilaku berbiak, akan lebih menjamin terjadinya pemisahan genetik diantara
Spesies-spesies yang berkerabat itu bila berkohabitasi, atau menghindari
terjadinya inbreeding yang tidak
mengintungkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya
menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang ditempati populasi itu,
termasuk faktor-faktor abiotik berupa ruang, tipe substratum atau medium yang
ditempati, cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.
2. Relung ekologi hewan adalah status
fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan
adaptasi-adaptasi fisiologis, morfologi dan pola perilaku hewan itu.
3. Mikrohabitat adalah bagian dari habitat
yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab
berhubungan dengan hewan.
4. Berdasarkan variasi habitat menurut waktu dapat dibagi menjadi 4 macam
habitat yaitu habitat yang konstan, habitat yang bersifat semusim, habitat yang
tidak menentu, dan habitat yang efemeral.
5. Berdasarkan Variasi kondisi habitat
menurut ruang, habitat dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu habitat
yang bersinambung, habitat yang terputus-putus, habitat yang terisolasi.
6. Dua spesies hewan atau lebih yang hidup
bersama dalam satu habitat disebut berkohabitasi atau berkoeksistensi.
7. Asas eksklusi persaingan atau Aturan Gause
: suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh
populasi stabil lebih dari satu spesies.
8. Asas Divergensi menurut Darwin : makin
besar perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup
di suatu tempat, makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu
tempat itu
9. Jenis-jenis hewan yang menempati relung
ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang serupa di daerah zoogeografi
yang berbeda disebut ekivalen-ekivalen ekologi.
10. Jika Spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat (kogenerik)
ditemukan dalam keadaan simpatrik, seleksi alam akan menghasilkan ciri-ciri
tubuh yang semakin mencolok perbedaannya diantara Spesies-spesies itu atau
dikatakan mengalami evolusi divergen.
Sebaliknya, apabila dalam keadaan alopitrik seleksi alam akan menghasilkan
evolusi konvergen sehingga perbedaan ciri-ciri itu makin kabur. Fenomena
tersebut di atas di kenal sebagai
Pergeseran Ciri.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan,Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang : Universitas
Negeri Malang
Kramadibrata, H.
(1996). Ekologi Hewan. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press.
Odum, Eugene P (1971) Fundamentals
of Ecology. Saunders College Publishing.
Wirakusumah, Sambas
(2003) Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta. Penerbit UI Press

Tidak ada komentar:
Posting Komentar